Rabu, 31 Oktober 2012

Happy Wedding Anniversary


Bismillah...

Ya Allah... Ya Tuhan kami
Ampunilah dosa ku yang telah aku lakukan
Kau limpahkanlah aku dengan kesabaran yang tiada terbatas

Kau berikanlah aku kekuatan mental dan fisik
Kau karuniakanlah aku dengan sifat keridhaan
Kau peliharalah lidahku dari kata-kata yang tak berguna
Kau kuatkanlah semangatku melewati segala ujianMu
Kau berikanlah aku sifat kasih sesama insan

Ya Allah... Ya Rahman Ya Rahim...
Sekiranya isteriku ini adalah pilihan-Mu di atas Arsy
Berilah aku kekuatan dan keyakinan untuk terus bersamanya
Karuniakanlah aku sifat kasih dan ridha atas segala perbuatannya
Sekiranya isteri ku ini adalah bidadari untuk ku di SurgaMu
Limpahkanlah aku dengan sifat kesabaran dan kelembutan untuk menghadapi dirinya
Peliharalah tingkah laku serta kata-kataku dari
menyakiti perasaannya

Sekiranya...
isteriku ini jodoh yang dirahmati olehMu maka
Berilah aku kesabaran untuk menghadapi segala tingkah lakunya

Ya Allah... Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu..
Kau yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untukku
Kau juga yang Maha Mengampuni segala kekhilafan dan segala dosa yang sudah aku lakukan
Sekiranya aku tersilap membuat keputusan..
Bimbinglah aku ke jalan yang Engkau ridhai
Sekiranya aku lalai dalam tanggung jawabku sebagai suami..
Hukumlah aku di dunia tetapi bukan di akhiratMu
Sekiranya aku ingkar dan durhaka
Berikanlah aku petunjuk kearah rahmatMu

Ya Allah
Sesungguhnya aku lemah tanpa petunjukMu..
Aku buta tanpa bimbinganMu..
Aku cacat tanpa hidayahMu..
Aku hina tanpa RahmatMu..

Ya Allah..
Kuatkan hati dan semangatku
Tabahkan aku menghadapi segala cobaanMu
Jadikanlah aku suami yang disayangi isteri
Bukakanlah hatiku untuk menghayati agamaMu
Bimbinglah aku menjadi suami yang terbaik bagi dirinya

Hanya padaMu Ya Allah aku mohon segala harapan
Karena aku pasrah dengan segala keputusanMu
Karena aku sadar hinanya aku
Karena aku insan lemah yang sering keliru
Kerana aku sering lupa dengan keindahan dunia ini
Karena kurang kesabaran ku menghadapi ujian dariMu

Ya Allah..
Sesungguhnya diriku ini hanyalah HambaMu yang lemah dan fakir
Limpahkanlah rumah tanggaku dengan penuh mawaddah
Jadikanlah rumah tanggaku sebagai rumah tangga yang sakinah
Aku memohon ampun kepadaMu ya Allah, atas segala dosa-dosa yang telah aku lakukan


Amin, amin Ya Rabbal Allamin..


Alhamdulillah, tiada kata yang layak terucap pada hari nan berbahagia ini, 02 Oktober 2012. Hari ini genap 1 tahun saya menjadi suami bagi istri tercinta, Dede Sri Restu Hartati. Dalam usia pernikahan yang masih sangat belia ini, kami telah pula dianugerahi-Nya sebuah amanah, seorang puteri "Khanza Aulia Rahma" yang Insya Allah cantik rupanya dan hatinya. Tangisnya, Tawanya, Diamnya, Tatapannya, semuanya selalu menghapus rasa penatku dan segala kelelahanku
 "We Love You"

It's My Wife ( She Is The Best )

Ini saat kami sedang libur dan jalan jalan ke Pelabuhan Ratu Sukabumi...

Selasa, 30 Oktober 2012

Our Sweetu "Khanza"

Nah ini dia, buah hati Kami... hallo sayaaang...
Senyumannya, tangisannya, tatapan matanya, semuanya membuat kami bahagia, dialah Amanat yang terindah dari Allah SWT yang sekaligus jadi penyemangat kami, kebahagiaan kami, dan segala-galanya bagi kami. Puteri pertama kami diberi nama "Khanza Aulia Rahma" dari setiap kata terdapat Doa & Harapan kami, "Khanza" kami ambil dari bahasa Arab yang artinya "Seorang Pejuang Muslimah/Wanita Yang Baik/Wanita Yang Bermata Indah", "Aulia" kami ambil dari bahasa kita yang mengandung arti "Orang Yang Mulia", "Rahma" yang mengandung arti "Diberi Banyak Berkah", dan kesemuanya digabungkan mengandung makna "Seorang Muslimah Mulia Yang Diberi Banyak Berkah" Insha Allah, Amin Ya Allah Ya Rabbal'alamin. Puteri kami lahir pada hari sabtu tanggal 30 Juni 2012 ( 11 Sha'Ban 1433 H ), Alhamdulillah lahir dengan normal, Istri dan Anakku keduanya selamat dan semuanya sehat walafiat ( Subhanallah, Allahu Akbar ).
Puji Syukur Alhamdulillah aku bisa berada disamping Istri ku saat kelahiran puteri pertama kami, Aku bisa menyaksikan keagungan sang Pencipta. Aku mengikuti jalannya persalinan istriku, sungguh istriku adalah seorang wanita yang kuat, pada saat itu perasaanku campur aduk antara rasa Cemas, Haru, dan Bahagia.

Kutitip-Surat-ini-Untukmu



Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Demi kewajibanku padamu aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai dan berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi. Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala.
Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.
Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk. Anakku… Setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.

Wassalam,

Ibumu


Kutipan dari " Kutitip-Surat-ini-Untukmu oleh Ustadz-Armen-Halim-Naro "